Era Digital

Kesepian di Era Digital: Psikiater Ungkap Akar Masalahnya

Kesepian di Era Digital: Psikiater Ungkap Akar Masalahnya
Kesepian di Era Digital: Psikiater Ungkap Akar Masalahnya

JAKARTA - Di tengah kemajuan teknologi yang memungkinkan siapa pun untuk berkomunikasi kapan saja dan di mana saja, paradoks besar justru muncul: semakin banyak orang merasa kesepian. Di era digital ini, manusia tampak selalu “terhubung”, namun banyak yang kehilangan kedekatan emosional yang sejati. Gawai, media sosial, dan grup daring memang mempertemukan banyak individu secara virtual, tetapi justru sering menutupi rasa sepi yang semakin mendalam.

Kesepian di masa kini bukan sekadar perasaan sesaat. Bagi sebagian orang, rasa itu hadir diam-diam, bahkan ketika mereka dikelilingi oleh orang lain atau aktif di dunia maya. Kondisi ini bisa berdampak serius pada kesehatan mental, terutama karena tidak selalu mudah dikenali dari luar.

Hal ini diungkapkan oleh psikiater Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Marzoeki Mahdi, dalam acara Festival Kata 2025 yang diselenggarakan oleh Kompas.id di Jakarta. Ia menegaskan bahwa akar dari rasa kesepian bukan terletak pada ketiadaan orang di sekitar, melainkan pada ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang dimiliki seseorang dengan perasaan batinnya sendiri.

“Kesepian kan sebenarnya manusia itu dalam hidup penghayatan perasaannya sebaiknya ada kesesuaian,” ujar dr. Nova.

Budaya “Ramai Tapi Sepi” di Era Media Sosial

Menurut dr. Nova, masyarakat modern saat ini kerap hidup dalam situasi yang tampak ramai, tetapi sebenarnya tidak saling berkomunikasi. Interaksi sosial sering kali tergantikan oleh aktivitas digital yang dangkal—menatap layar, membagikan foto, atau menunggu tanda “like” dari orang lain.

“Kalau kita di tempat ramai, logikanya kita tidak kesepian. Tapi problem-nya sekarang orang ngumpul malah tidak komunikasi satu sama lain,” jelasnya.

Fenomena ini membuat seseorang bisa hadir secara fisik, tetapi secara mental justru absen. Dalam pertemuan sosial, alih-alih berbicara dan menikmati kebersamaan, banyak orang justru sibuk memotret suasana, mengunggah hasilnya ke media sosial, dan menanti reaksi dari dunia maya.

“Mereka malah foto, habis itu posting hasil pertemuan mereka, dan yang mereka tunggu justru respons dari orang-orang virtual, bukan ngobrolin pertemuan itu,” kata dr. Nova.

Kondisi seperti ini menjadi tanda hilangnya mindfulness atau kesadaran penuh terhadap momen yang sedang dijalani. Aktivitas sederhana seperti makan bersama pun berubah maknanya: lebih banyak diabadikan lewat foto dibanding benar-benar dinikmati.

“Kita makan cuma kewajiban aja supaya enggak sakit, supaya ada asupan gizi. Tapi kita lupa menghargai makanan itu, rasanya, aromanya, teksturnya. Kita sibuk motret-motretin makanannya, sampai akhirnya udah enggak hangat. Itu gak mindful namanya,” tambahnya.

Menarik Diri di Tengah Keramaian

Dr. Nova menyebut fenomena “ramai tapi sepi” sebagai bentuk withdrawal—yakni perilaku menarik diri dari komunikasi nyata, meskipun sedang berada di tengah banyak orang. Individu yang mengalami hal ini tampak hadir, tetapi pikirannya berada di dunia virtual.

“Dalam kebersamaan kita withdraw, menarik diri dan masuk ke dunia virtual. Alih-alih berkomunikasi secara intens, kita malah mengisolasi pikiran dan kontak kita. Jadi kita isolating our mind, isolating our communication,” ungkapnya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kesepian di era digital bukan hanya karena seseorang sendirian secara fisik, tetapi karena hilangnya koneksi emosional yang otentik. Seseorang bisa berada di tengah pesta, di ruang kerja penuh kolega, atau di grup daring yang aktif, namun tetap merasa terasing.

Menurut dr. Nova, kondisi seperti ini dapat menjadi awal dari permasalahan kesehatan mental yang lebih serius jika tidak disadari sejak dini. Perasaan terputus dari lingkungan dan diri sendiri dapat menurunkan kemampuan seseorang untuk menikmati hidup, bahkan bisa berujung pada depresi atau gangguan kecemasan.

Masyarakat yang Meromantisasi Kesepian

Lebih lanjut, dr. Nova juga menyoroti fenomena masyarakat yang cenderung meromantisasi kesepian. Dalam banyak budaya populer, kesepian kadang dianggap sebagai tanda kedalaman emosional atau bagian dari gaya hidup modern. Padahal, ketika perasaan tersebut dibiarkan berlarut, dampaknya bisa sangat merugikan.

Romantisasi kesepian sering kali membuat seseorang merasa “bangga” menjadi individu yang mandiri dan tidak membutuhkan kehadiran orang lain, padahal secara emosional, manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang membutuhkan keterhubungan.

Dalam konteks digital, romantisasi ini diperparah dengan ilusi kebersamaan di dunia maya. Unggahan media sosial yang penuh kebahagiaan semu menciptakan tekanan sosial: seolah semua orang bahagia kecuali diri sendiri. Hal ini bisa memperkuat rasa keterasingan dan membuat seseorang semakin menarik diri dari relasi nyata.

Kembali ke Esensi Kehadiran Nyata

Pesan utama yang disampaikan dr. Nova adalah pentingnya mengembalikan makna kehadiran yang sejati. Manusia, menurutnya, tidak hanya butuh interaksi sosial, tetapi juga koneksi emosional yang hadir melalui perhatian, tatapan, dan percakapan langsung.

Kehadiran digital tidak bisa menggantikan rasa diterima dan dipahami secara nyata. Untuk itu, langkah kecil seperti menaruh ponsel saat makan, mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh, atau menikmati makanan tanpa tergesa bisa menjadi bentuk latihan mindfulness yang menumbuhkan rasa keterhubungan kembali.

Fenomena kesepian di era digital mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat, bukan pengganti hubungan manusia yang sesungguhnya. Seperti disimpulkan oleh dr. Nova, keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata menjadi kunci agar manusia tetap sehat secara mental dan emosional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index