JAKARTA - Perubahan besar sedang disiapkan dalam layanan jaminan kesehatan nasional yang dikelola BPJS Kesehatan. Sistem pembagian kelas layanan rawat inap akan dihapus dan diganti dengan sistem baru bernama Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Sistem KRIS akan diterapkan secara bertahap mulai tahun 2025 mendatang. Perubahan ini bertujuan menciptakan pemerataan layanan bagi seluruh peserta tanpa memandang kelas sosial dan ekonomi.
Selama ini, BPJS Kesehatan membagi peserta dalam tiga kelas berbeda, yakni Kelas 1, Kelas 2, dan Kelas 3. Perbedaan kelas tersebut menentukan fasilitas rawat inap yang didapat serta besaran iuran bulanan yang harus dibayarkan.
Peserta Kelas 1 mendapatkan fasilitas paling lengkap dengan iuran tertinggi. Sementara peserta Kelas 3 menerima fasilitas lebih sederhana dengan beban iuran yang paling ringan.
Namun, dalam waktu dekat sistem ini tidak akan lagi digunakan sebagai acuan pelayanan. Semua peserta akan mendapat perlakuan seragam berdasarkan standar yang sama melalui KRIS.
Detail Iuran BPJS Kesehatan Masih Berdasarkan Aturan Lama
Walau perubahan sistem layanan akan diterapkan pada tahun 2025, skema iuran saat ini tetap mengacu pada peraturan yang berlaku sebelumnya. Ketentuan yang digunakan masih merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2022.
Skema perhitungan iuran BPJS Kesehatan dibedakan berdasarkan kategori peserta. Setiap kelompok memiliki aturan iuran yang berbeda sesuai dengan status sosial, pekerjaan, dan afiliasi mereka.
Bagi peserta yang tergolong dalam kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI), seluruh biaya ditanggung oleh pemerintah. Peserta PBI biasanya berasal dari kalangan tidak mampu yang datanya ditentukan oleh lembaga berwenang.
Kategori kedua adalah Pekerja Penerima Upah (PPU) yang bekerja di sektor pemerintah maupun swasta. Iuran peserta PPU ditetapkan sebesar 5% dari gaji atau upah per bulan.
Besaran 5% tersebut dibagi antara pemberi kerja dan peserta dalam sistem iur bersama (cost-sharing). Rinciannya adalah 4% dibayar pemberi kerja dan 1% ditanggung peserta.
Ketentuan ini berlaku bagi PNS, anggota TNI, Polri, serta pegawai di BUMN dan perusahaan swasta. Dengan demikian, beban iuran tidak hanya ditanggung sepihak melainkan dibagi secara proporsional.
Namun, ada ketentuan khusus bagi keluarga tambahan PPU seperti anak keempat dan seterusnya, serta orang tua atau mertua. Untuk mereka, iuran sebesar 1% dari gaji dibayar penuh oleh pekerja itu sendiri.
Iuran Mandiri Disesuaikan dengan Kelas yang Dipilih Peserta
Peserta mandiri atau yang tidak bekerja pada institusi pemberi kerja memiliki ketentuan iuran tersendiri. Kelompok ini mencakup PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah), bukan pekerja, serta kerabat dari peserta PPU.
Iuran peserta mandiri ditentukan berdasarkan kelas layanan yang mereka pilih saat mendaftar. Untuk Kelas 1, iuran ditetapkan sebesar Rp150.000 per orang per bulan.
Peserta Kelas 2 membayar iuran sebesar Rp100.000 per bulan. Sedangkan untuk Kelas 3, iurannya hanya sebesar Rp42.000 per orang per bulan.
Namun, sejak 1 Januari 2021, peserta Kelas 3 hanya membayar Rp35.000 karena mendapat subsidi dari pemerintah. Pemerintah memberikan bantuan sebesar Rp7.000 untuk menutupi kekurangan biaya iuran.
Selain itu, ada ketentuan khusus untuk veteran, perintis kemerdekaan, serta janda/duda dan anak yatim piatu mereka. Iuran mereka dihitung sebesar 5% dari 45% gaji pokok PNS Golongan III/a masa kerja 14 tahun.
Seluruh iuran bagi kelompok veteran dan perintis tersebut sepenuhnya dibayarkan oleh pemerintah. Kebijakan ini merupakan bentuk penghargaan atas jasa mereka di masa lalu.
Meskipun masih memakai sistem kelas saat ini, seluruh perhitungan iuran akan disesuaikan jika sistem KRIS diterapkan. Nantinya, seluruh peserta akan mendapatkan layanan standar tanpa membedakan kelas.
Denda Pelayanan Dikenakan dengan Ketentuan Ketat
Meski tidak dikenakan denda untuk keterlambatan pembayaran, ada konsekuensi bagi peserta yang menunggak. Ketentuan denda ini berlaku sejak 1 Juli 2016 berdasarkan Perpres yang sama.
Jika peserta mengaktifkan kembali kepesertaan dan langsung mendapatkan layanan rawat inap dalam waktu 45 hari, maka denda akan dikenakan. Ini menjadi bentuk penegakan disiplin pembayaran agar sistem berjalan lancar.
Denda pelayanan ini ditetapkan sebesar 5% dari biaya diagnosa awal perawatan rawat inap. Jumlah tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah bulan yang tertunggak oleh peserta.
Namun, jumlah bulan tertunggak yang dihitung maksimal hanya 12 bulan. Sementara batas maksimal denda pelayanan yang harus dibayar adalah Rp30.000.000.
Untuk peserta kategori PPU, pembayaran denda ini menjadi tanggung jawab pemberi kerja. Sehingga pekerja tidak dibebani langsung selama masih dalam hubungan kerja aktif.
Tanggal pembayaran iuran tetap wajib dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulannya. Pembayaran lewat dari tanggal tersebut tidak akan langsung menonaktifkan status kepesertaan, tetapi tetap harus dilunasi.
Jika status kepesertaan sempat nonaktif, peserta bisa kembali aktif setelah melunasi tunggakan. Namun, jika langsung membutuhkan rawat inap setelah aktif kembali, maka denda tetap berlaku.
Sistem KRIS Ditargetkan Berlaku Secara Nasional
Pemerintah menargetkan implementasi KRIS bisa dilakukan secara nasional mulai tahun 2025. Tujuan utama dari sistem ini adalah menciptakan keadilan dalam pelayanan kesehatan.
Tidak akan ada lagi perbedaan tempat tidur atau fasilitas kamar rawat inap berdasarkan besaran iuran. Semua peserta akan mendapatkan pelayanan seragam yang mengacu pada standar minimal yang telah ditetapkan.
Dengan begitu, kualitas layanan tidak lagi menjadi hak eksklusif peserta dengan iuran tinggi. Semua masyarakat, baik yang miskin maupun kaya, berhak mendapatkan perlakuan medis yang setara.
KRIS dirancang untuk meminimalkan kesenjangan dalam fasilitas rumah sakit. Selain itu, sistem ini juga dinilai lebih efisien dalam pengelolaan sumber daya di sektor kesehatan.
Meski pelaksanaannya bertahap, beberapa rumah sakit telah melakukan penyesuaian sejak awal 2024. Proses adaptasi akan terus berlangsung hingga semua fasilitas kesehatan siap menjalankan sistem baru.
Perubahan ini tentu menuntut penyesuaian kebijakan iuran di masa depan. Namun hingga hari ini, semua ketentuan iuran tetap mengacu pada aturan yang masih berlaku.