Pemerintah Fokus Sisir Wajib Pajak Potensial Hadapi Risiko Shortfall Pajak

Kamis, 23 Oktober 2025 | 13:56:07 WIB
Pemerintah Fokus Sisir Wajib Pajak Potensial Hadapi Risiko Shortfall Pajak

JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah memperkuat langkah pengawasan dan penagihan pajak di tengah risiko shortfall penerimaan yang kian nyata. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menegaskan bahwa pemerintah kini tidak tinggal diam menghadapi tekanan tersebut. 

Ia memastikan setiap potensi penerimaan pajak akan dimaksimalkan melalui strategi pengawasan yang lebih tajam dan sistematis.

“Upayanya kita sudah mulai micro management untuk collection. Jadi kita pantau betul semua wajib pajak, kita list dari semua kanwil, potensi yang paling besar siapa, kemudian kira-kira kepatuhannya seperti apa,” ujar Bimo kepada wartawan di Kantor Kemenko Perekonomian.

Pendekatan micro management ini menjadi strategi baru DJP untuk memperkuat basis penerimaan pajak. Setiap kantor wilayah kini diwajibkan memetakan daftar wajib pajak potensial dan menilai tingkat kepatuhan mereka. Dengan begitu, langkah pengawasan bisa lebih akurat, terarah, dan efektif dalam menutup celah penerimaan negara.

Fokus pada Wajib Pajak Besar dan Kepatuhan

Menurut Bimo, strategi DJP tahun ini difokuskan untuk menekan compliance gap atau kesenjangan kepatuhan, terutama dari kelompok wajib pajak besar yang selama ini berkontribusi signifikan terhadap penerimaan.

“Kemudian gap kepatuannya kita endorse untuk bisa jadi optimum,” ungkapnya.

Langkah ini menjadi bagian penting dari upaya menjaga stabilitas fiskal di tengah tren pelemahan penerimaan pajak beberapa bulan terakhir. Pemerintah menyadari, memperluas basis pajak tidak cukup tanpa meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang sudah ada, terutama dari kalangan korporasi besar dan sektor industri padat modal.

Selain itu, pengawasan berbasis data dan integrasi sistem melalui Coretax juga disebut akan dioptimalkan untuk meningkatkan efektivitas pengumpulan pajak di sisa tahun berjalan. Pemerintah berharap langkah ini bisa menjadi katalis bagi perbaikan kinerja penerimaan pada kuartal IV 2025.

Analis Peringatkan Dampak Defisit Pajak yang Melebar

Meski upaya DJP diapresiasi, sejumlah pengamat menilai tren pelemahan penerimaan pajak tahun ini perlu diwaspadai. Fajry Akbar, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengatakan bahwa outlook penerimaan saat ini menunjukkan kecenderungan penurunan signifikan dibanding tahun sebelumnya.

“Awalnya outlook kita proyeksikan masih memungkinkan sampai 94% dari target, namun dengan pemulihan yang tidak sekuat dari tahun lalu outlook penerimaan terus menurun. Dari 94% lalu ke 90% dan kini 85%-88%,” jelasnya.

Menurut Fajry, bila tren ini berlanjut hingga akhir tahun, realisasi penerimaan pajak hanya akan mencapai 82,22% dari target. Angka itu menunjukkan potensi shortfall cukup besar yang bisa menggerus postur APBN 2025 secara keseluruhan.

“Jika kinerja penerimaan dalam beberapa bulan ke depan sama dengan beberapa bulan terakhir, realisasi penerimaan akan dalam kisaran 82,22%,” lanjutnya.

Fajry memaparkan, bila realisasi hanya mencapai 82,22%, maka defisit penerimaan pajak akan melebar tajam. Semula, dengan outlook 94%, defisit diperkirakan sekitar Rp131,36 triliun. Namun kini, defisit tersebut berpotensi membengkak hingga Rp389,26 triliun.

Risiko Terhadap APBN 2026 dan Pertumbuhan Pajak

Dampak pelemahan penerimaan pajak tahun ini juga akan menjalar ke APBN 2026. Bila realisasi 2025 hanya 82,22%, maka agar target tahun depan tercapai, kinerja pajak harus tumbuh sekitar 30,98%, atau setara tambahan Rp557,66 triliun.

“Artinya, APBN 2026 semakin tidak rasional, defisit anggaran akan membengkak. Saya kira pemerintah perlu antisipasi instabilitas makro ekonomi yang akan terjadi pada tahun depan,” terang Fajry.

Ia juga menyoroti risiko kontraksi pertumbuhan penerimaan pajak yang bisa masuk ke zona negatif. Berdasarkan data historis, realisasi 82% pernah terjadi pada 2015 dan 2016, ketika pertumbuhan pajak hanya berada di kisaran 7,61% dan 4,32%. Namun jika tahun ini benar-benar hanya mencapai 82,22%, maka pertumbuhan pajak akan terkontraksi hingga -6,85%, lebih dalam dari penurunan -4,55% saat krisis keuangan global 2008–2009.

Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional 4,7%–4,9%, kondisi ini disebut sebagai anomali yang perlu diwaspadai.
“Jika penerimaan pajak tahun 2025 ini pada akhirnya tumbuh negatif, apalagi sampai kisaran -6,85%, ada apa? Sebuah anomali yang tidak normal menurut saya,” pungkasnya.

Upaya Pemerintah Cegah Pelebaran Shortfall

Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah terus berupaya menahan pelebaran shortfall. Selain pendekatan micro management oleh DJP, koordinasi lintas kementerian juga diperkuat, termasuk antara Kemenkeu, Kemenko Perekonomian, dan Kemenperin untuk mengoptimalkan potensi pajak sektor-sektor produktif.

Langkah reformasi administrasi perpajakan juga akan diteruskan, baik melalui sistem digital Coretax maupun peningkatan kualitas pelayanan kepada wajib pajak. Dengan kombinasi strategi pengawasan ketat dan transparansi sistem, diharapkan kepercayaan wajib pajak meningkat, sehingga basis penerimaan dapat kembali pulih.

Meskipun tantangan masih besar, pemerintah optimistis strategi yang diterapkan tahun ini akan mempersempit celah shortfall dan memperkuat pondasi penerimaan pajak untuk tahun fiskal berikutnya.

Terkini