JAKARTA - Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, bakal mengambil peran sentral lewat rapat khusus yang membahas utang jumbo proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) atau yang dikenal sebagai Whoosh.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa rapat tersebut akan dilakukan “khusus” dan tidak sebagai agenda rutin. “Itu nanti dibahas khusus,” ujar Airlangga di Istana, Jakarta
Airlangga lebih jauh menegaskan bahwa pembahasan soal utang Whoosh akan melibatkan langsung Presiden. “Ada pembahasan khusus untuk itu. Iya (dengan Presiden),” imbuhnya. Dengan demikian, penanganan utang proyek ini akan berada di jenjang tertinggi keputusan pemerintahan.
Sikap Kemenkeu: Tolak Penanganan Lewat APBN
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pendanaan utang Whoosh tidak akan berasal dari anggaran negara alias APBN. Ia menolak keras wacana yang menyebut pemerintah harus turut menanggung beban utang raksasa ini.
Menurutnya, utang proyek KCIC bukanlah kewajiban negara, melainkan tanggung jawab penuh BUMN yang terlibat dalam proyek tersebut.
Dalam penjelasannya, Purbaya menegaskan: meskipun Kementerian Keuangan belum menerima permintaan resmi dari superholding Danantara—yang dikaitkan dengan pengelolaan BUMN proyek kereta cepat—ia tetap mengingatkan bahwa sejak terbentuknya superholding itu, seluruh dividen BUMN tidak lagi tercatat sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Dengan kondisi tersebut, ia menilai bahwa beban tanggung jawab harus dituntaskan di lingkup BUMN terkait.
Beban Utang dan Strategi Pembiayaan
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh kini menjadi sorotan tajam karena beban utangnya telah memuncak hingga mencapai Rp 116 triliun. Dalam menghadapi tekanan finansial tersebut, Danantara yang berperan sebagai superholding BUMN disebut tengah merancang strategi untuk meringankan beban pembiayaan proyek.
Salah satu upaya yang dikaji adalah kemungkinan meminta dukungan keuangan lewat APBN. Namun, Purbaya secara tegas menolak langkah itu. Ia menegaskan bahwa manajemen keuangan proyek, termasuk pembayaran utang, harus berasal dari pengelolaan korporasi BUMN sendiri.
Sebagai perbandingan, Purbaya menyebut bahwa dividen agregat seluruh BUMN rata-rata bisa mencapai sekitar Rp 80 triliun per tahun atau lebih. “Kalau sudah dibuat Danantara, kan mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp 80 triliun atau lebih, harusnya mereka manage dari situ.
Jangan ke kita lagi (Kemenkeu),” ujar Purbaya dalam sambungan virtual Zoom saat Media Gathering APBN 2026 di Bogor.
Tantangan, Opsi, dan Prospek Keputusan
Penempatan pembahasan utang Whoosh pada ranah rapat khusus dengan Presiden menunjukkan bahwa masalah ini dianggap sebagai urgensi nasional. Keputusan yang diambil bisa membuka jalan bagi peralihan skema pembiayaan, restrukturisasi utang, atau sumber dana alternatif yang tidak membebani APBN.
Di sisi lain, penolakan Kemenkeu terhadap penggunaan anggaran negara memberi sinyal kuat bahwa pemerintah ingin menjaga prinsip fiskal — agar utang proyek berskala besar tidak menjelma menjadi beban APBN. Dengan demikian, strategi penanganan akan sangat tergantung pada kekuatan internal BUMN dan kebijakan Danantara sebagai holding.
Jika Danantara mampu memaksimalkan alokasi dividen dan manajemen internal, maka proyek dapat berjalan tanpa intervensi APBN. Namun jika tekanan keuangan makin berat, pemerintah mungkin harus mempertimbangkan opsi kebijakan lebih jauh — misalnya bantuan jangka panjang atau skema penjaminan — agar proyek kereta cepat tetap viable.