Energi Hijau

Hilirisasi Jadi Strategi Tekan Biaya Transisi Energi Hijau

Hilirisasi Jadi Strategi Tekan Biaya Transisi Energi Hijau
Hilirisasi Jadi Strategi Tekan Biaya Transisi Energi Hijau

JAKARTA - Upaya pemerintah mempercepat transisi menuju energi hijau diyakini tak bisa lepas dari strategi hilirisasi industri. Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM Todotua Pasaribu menegaskan bahwa kebijakan hilirisasi yang kini dijalankan memiliki efek ganda: meningkatkan nilai tambah komoditas sekaligus menurunkan biaya transisi energi menuju sistem yang lebih berkelanjutan.

Dalam keterangan di Jakarta, Selasa, Todotua menyebut bahwa biaya tinggi dalam produksi energi hijau selama ini disebabkan oleh rantai pasok yang belum efisien. Karena itu, hilirisasi dianggap sebagai langkah strategis untuk mengelola biaya energi hijau agar lebih kompetitif.

“Produksi green energy sekarang kita ini levelnya masih mahal, karena supply chain-nya masih mahal. Maka masuknya kita ke hilirisasi sebenarnya adalah strategi untuk me-manage cost our green energy,”
ujar Todotua.

Efisiensi Rantai Pasok Jadi Kunci Murahnya Energi Hijau

Todotua menjelaskan bahwa salah satu contoh nyata penerapan hilirisasi untuk menekan biaya energi hijau adalah di sektor pembangkit listrik tenaga surya. Industri ini sangat bergantung pada ketersediaan komponen utama berupa solar sel, yang selama ini sebagian besar masih diimpor.

Dengan membangun industri solar panel secara domestik, Indonesia bisa memangkas biaya impor dan meningkatkan efisiensi rantai pasok. Langkah ini akan berdampak langsung pada penurunan harga produksi energi hijau, sekaligus memperkuat kemandirian industri nasional.

“Bagaimana kita bisa menghadirkan industri atau downstreaming solar panel di negara kita yang kompetitif, sehingga nanti secara supply chain memberikan kontribusi terhadap harga green energy kita yang murah,”
tutur Todotua.

Ia menegaskan bahwa pembangunan industri hilir bukan semata soal nilai tambah komoditas, tetapi juga berkaitan langsung dengan keterjangkauan energi hijau bagi masyarakat dan industri di dalam negeri.
Menurutnya, bila rantai pasok bisa dikuasai dan dikelola di dalam negeri, maka transisi menuju green energy tidak hanya mungkin secara teknis, tetapi juga realistis secara ekonomi.

Potensi Besar Energi Terbarukan di Indonesia

Selain strategi hilirisasi, Todotua juga menyoroti besarnya potensi energi terbarukan Indonesia yang masih belum tergarap maksimal.
Ia mengungkapkan bahwa kapasitas total energi terbarukan nasional mencapai sekitar 3.700 gigawatt (GW), dengan energi surya sebagai kontributor terbesar, disusul oleh energi air (hydropower) dan panas bumi (geothermal).

“Solar panel kontribusi paling besar, tenaga air hampir bisa kita manfaatkan, dan geothermal, install kita sekarang nomor dua di dunia setelah Amerika. Tapi potensinya masih banyak yang belum diserap,”
kata Todotua.

Menurut dia, pemanfaatan potensi energi bersih ini akan berjalan optimal jika rantai industrinya terintegrasi dari hulu ke hilir.
Hilirisasi bukan hanya meningkatkan nilai tambah bahan baku mineral atau energi, tetapi juga membuka peluang besar bagi investasi teknologi hijau, penciptaan lapangan kerja baru, serta penguatan industri energi nasional yang berdaya saing global.

Todotua menilai, strategi hilirisasi merupakan bagian dari peta jalan besar pembangunan berkelanjutan Indonesia, di mana transisi energi menjadi bagian penting dari agenda kemandirian ekonomi nasional.
Dengan membangun industri energi hijau dalam negeri, Indonesia tidak hanya menekan biaya impor, tetapi juga memperkuat ketahanan energi di tengah fluktuasi harga global.

Energi Kompetitif, Bukan Sekadar Murah

Lebih jauh, Todotua menegaskan bahwa tujuan utama dari kebijakan hilirisasi bukan sekadar menekan harga energi agar murah, melainkan menciptakan energi yang kompetitif dan berdaya saing.
Energi yang kompetitif akan mendorong industri nasional untuk tumbuh lebih efisien, produktif, dan mampu bersaing di pasar global.

“Saya tidak bicara murah (energi), tapi harus kompetitif,”
tegasnya.

Menurut dia, industri hijau yang efisien akan memperkuat daya saing ekspor Indonesia, terutama di sektor-sektor yang kini tengah mengarah ke ekonomi rendah karbon seperti otomotif listrik, manufaktur hijau, dan teknologi energi bersih.
Keterjangkauan biaya energi juga akan mendorong investasi asing untuk masuk ke sektor hijau yang tengah tumbuh pesat di kawasan Asia Tenggara.

Todotua menilai, hilirisasi dan transisi energi harus berjalan beriringan agar Indonesia dapat memanfaatkan potensi besar sumber daya alamnya tanpa bergantung pada bahan baku mentah.
Langkah ini sekaligus memastikan bahwa transformasi menuju ekonomi hijau tidak menjadi beban biaya, melainkan peluang ekonomi baru yang berkelanjutan.

Membangun Fondasi Ekonomi Hijau yang Tangguh

Hilirisasi yang digencarkan pemerintah, lanjut Todotua, menjadi pilar utama dalam membangun fondasi ekonomi hijau yang tangguh dan berdaulat.
Kebijakan ini memungkinkan Indonesia menguasai rantai pasok industri strategis sekaligus mempercepat proses diversifikasi sumber energi terbarukan.

Dengan dukungan kebijakan investasi yang kondusif, ia optimistis bahwa Indonesia dapat memperkuat posisi sebagai pemain utama dalam rantai nilai energi hijau global.
Upaya ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

Todotua menegaskan bahwa keberhasilan transisi energi hijau tidak hanya bergantung pada sumber daya alam, tetapi juga pada ketersediaan industri pendukung dan efisiensi biaya produksi.
Dengan demikian, hilirisasi bukan sekadar strategi ekonomi, tetapi juga fondasi bagi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan bangsa di masa depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index